Analisis Tindakan Tidak Berintegritas Studi Kasus Dugaan Malpraktik dr. Ayu dkk di RSUP Kandou Malalayang, Manado

Analisis Tindakan Tidak Berintegritas Studi Kasus Dugaan Malpraktik dr. Ayu dkk di RSUP Kandou Malalayang, Manado
JAKARTA, KOMPAS.com — Satu demi satu, dokter yang menangani pasien Siska Makelty hingga meninggal dunia ditangkap. Setelah lama menjadi buron, dr Dewa Ayu Sasiary Prawarni, SpOG dan dr Hendry Simanjuntak, SpOG akhirnya dieksekusi jaksa di dua tempat yang berbeda, berselang sekitar tiga pekan. Kini, jaksa masih memburu dr Hendy Siagian, SpOG.

Sebelumnya mereka masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) pascaputusan kasasi yang telah berkekuatan hukum tetap dari majelis kasasi Mahkamah Agung (MA). Adalah hakim agung Artidjo Alkostar, Dudu Duswara, dan Sofyan Sitompul yang menjatuhi para dokter itu vonis bersalah.

Ketiga dokter itu sempat dibebaskan oleh majelis hakim tingkat pertama di Pengadilan Negeri Manado. Majelis hakim menyatakan, tiga dokter spesialis itu tidak terbukti melakukan kelalaian. Namun, oleh majelis kasasi, putusan itu dibatalkan.

Bagaimana putusan kasasi tersebut? Artidjo dan dua hakim anggotanya menemukan kekeliruan penafsiran oleh hakim PN Manado. Majelis menyatakan, tiga dokter itu terbukti melakukan kesalahan seperti diatur dalam Pasal 359 KUHP. Maka, majelis kasasi menjatuhkan hukuman kepada tiga dokter muda itu pidana penjara masing-masing 10 bulan.

"Menyatakan para terdakwa dr Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr Hendry Simanjuntak, dan dr Hendy Siagian telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain," demikian bunyi putusan kasasi seperti dimuat di laman MA.

Dalam putusan, majelis kasasi menemukan kesalahan yang dilakukan dr Ayu dan dua koleganya. Kesalahan para dokter itu, menurut hakim, yakni tidak mempertimbangkan hasil rekam medis dari puskesmas yang merujuk Siska Makatey.

Rekam medis itu menyatakan, saat masuk Rumah Sakit (RS) Prof RF Kandou, Malalayang, Manado, keadaan Siska Makatey adalah lemah. Selain itu, status penyakitnya adalah berat. Kesalahan kedua, seperti dalam pertimbangan majelis kasasi, sebelum menjalankan operasi darurat kelahiran atau cito secsio sesaria, ketiga dokter itu tidak pernah menyampaikan kepada keluarga pasien setiap risiko dan kemungkinan yang bakal terjadi, termasuk risiko kematian.

Dalam dakwaan jaksa bahkan dijelaskan, tanda tangan Siska yang tertera dalam surat persetujuan pelaksanaan operasi berbeda dengan tanda tangan Siska pada kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu Askes-nya. Dokter Hendy-lah yang bertanggung jawab untuk meminta tanda tangan Siska.

Kesalahan ketiga, para dokter itu melakukan kelalaian yang menyebabkan udara masuk ke dalam bilik kanan jantung Siska. Hal itu menghambat aliran darah yang masuk ke paru-paru hingga terjadi kegagalan fungsi jantung. Berefek domino, hal itu mengakibatkan kegagalan fungsi jantung.

Dalam dakwaannya, jaksa menjabarkan, sebelum melakukan operasi, dokter tidak melakukan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan jantung dan foto rontgen dada. Padahal, sebelum dibius, tekanan darah Siska tergolong tinggi, yaitu mencapai 160/70.

Pemeriksaan jantung baru dilakukan pasca-operasi dilaksanakan. Dari pemeriksaan itu disimpulkan, Siska mengalami kelainan irama jantung. Pasca-operasi, denyut nadi Siska mencapai 180 kali per menit. Hal itu pertanda bahwa pada jantung pasien terjadi kegagalan akut karena terjadi emboli, yaitu penyumbatan pembuluh darah oleh suatu bahan, seperti darah, air ketuban, udara, lemah, atau trombus.

Menurut saksi Najoan Nan Warouw, Konsultan Jaga Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan yang bertugas saat operasi dilaksanakan, keadaan yang dialami Siska pasti menyebabkan kematian.

"Selanjutnya, korban dinyatakan meninggal dunia oleh bagian penyakit dalam," kata memori kasasi jaksa.

Majelis kasasi menilai, kesalahan itu mempunyai hubungan sebab dan akibat dengan meninggalnya Siska. "Perbuatan para terdakwa mempunyai hubungan kausal dengan meninggalnya Siska Makatey," kata majelis kasasi dalam putusan.

Dalam pertimbangan majelis kasasi, hal yang meringankan dr Ayu dan kawan-kawan, yakni saat melakukan operasi, ketiganya masih menempuh pendidikan pada Program Pendidikan Dokter Spesialis Universitas Sam Ratulangi Manado. Artinya, saat melakukan operasi itu, tiga dokter itu belum menjadi dokter spesialis kandungan, meski kini sudah.

Akibat putusan MA itu, para dokter yang tergabung di beberapa organisasi profesi dokter menyampaikan protes dengan mogok praktik hari ini. Meski demikian, anggota majelis kasasi Sofyan Sitompul bergeming. Pasalnya, putusan kasasi memang bersifat final dan mengikat. "Sudah adil. Sudah sesuai," katanya, Selasa (26/11/2013).

1.      Subyek yang melakukan tindakan tidak berintegritas

Subjek pelaku tidak berintegritas dalam kasus ini yaitu ketiga dokter praktek di RSUP Kandou Malalayang, Manado. Ketiganya yakni dr. Dewa Ayu Sasiary Prawarni, SpOG, dr. Hendry Simanjuntak, SpOG dan dr. Hendy Siagian, SpOG.
2.      Identifikasi tindakan tidak berintegritas
a.      Pemalsuan, dalam kasus ini yaitu pemalsuan tanda tangan yang dilakukan
oleh dr. Hendy Siagian, SpOG pada lembaran informed consent.
b.     Mengabaikan Hak Pasien dan Keluarga dalam hal ini pasien maupun keluarga tidak mendapatkan informasi tentang tindakan maupun risiko tindakan
Medis yang dilakukan oleh dokter dengan kata lain mengabaikan informed
consent
c.      Mengabaikan Rekam Medis sebagai informasi rujukan kondisi pasien
Sehingga pasien dibiarkan menunggu waktu yang tepat sesuai langkah SOP
yang ada.
Uraian :
Aspek yang sangat penting yaitu bahwa dalam setiap tindakan medis yang dilakukan oleh seorang dokter, harus didasarkan kepada informed consent dan harus adanya transaksi terapeutik terlebih dahulu.
Dengan adanya peraturan Permenkes No.585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik, maka peraturan tersebut menjadi aturan pelaksanaan dalam setiap tindakan medis yang berhubungan dengan persetujuan dan pemberian informasi terhadap setiap tindakan medik. Peraturan tersebut menyebutkan bahwa setiap tindakan medik harus ada persetujuan dari pasien yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Permenkes No.585 Tahun 1989, yang berbunyi “semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan”
Adanya pengaturan mengenai informed consent yang terdapat dalam Permenkes No.585 Tahun 1989 tersebut juga diperkuat dengan adanya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang terdapat pada Pasal 45 ayat (1) sampai (6) yang berbunyi:
Pasal 45 ayat (1): Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2): Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
(3): Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4): Persetujuan sebagaimana dimaksud padaf ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan.
(5): Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
(6): Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (30), ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri
Dari Ketentuan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran tersebut terutama pada pasal 45 ayat (6) menyebutkan bahwa pengaturan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran (informend consent) diatur oleh peraturan menteri yaitu Permenkes No.585 Tahun 1989.
Dalam kasus diatas, aspek informed consent terlihat diabaikan oleh para dokter. Hal tersebut dalam dibuktikan berupa tanda tangan korban yang berada di dalam surat persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi yang diserahkan oleh dr.Hendy Siagian untuk ditandatangani oleh korban tersebut berbeda dengan tanda tangan korban yang berada di dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Askes. Kemudian setelah dilakukan pemeriksaan oleh Laboratorium Forensik Cabang Makassar dan berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik pada tanggal 09 Juni 2010 NO.LAB. : 509/DTF/2011. Labolatorium Kriminalistik menyatakan bahwa tanda tangan atas nama Siska Makatey alias Julia Fransiska Makatey pada dokumen bukti adalah tanda tangan karangan/ “Spurious Signature“
Dari pembuktian tersebut, aspek informed consent dan adanya transaksi terapeutik merupakan dasar seorang dokter untuk melakukan suatu tindakan medis. Dengan diabaikannya aspek informed consent dan transaksi terapeutik maka dalam ajaran ilmu hukum pidana, hal tersebut termasuk dalam kelalaian seorang dokter dalam menjalankan suatu tindakan medis. Untuk dapat dipidananya seorang dokter yang melakukan suatu tindakan medis tanpa didahului oleh aspek informed consent dan transasi terapeutik maka pihak yang berwenang harus dapat membuktikannya. Tanpa adanya aspek informed consent dalam suatu tindakan medis, maka hal tersebut dapat masuk dalam elemen kesalahan yang dimaksudkan dalam pasal 359 KUHP.
3.      Identifikasi latar belakang tindakan tidak berintegritas
Latar belakang terjadinya kasus ini:
a.   Kurangnya pengawasan dari pihak yang terkait yaitu: Manajemen RS, dokter senior yang berkompeten di bidangnya.
b.   Kurang memahami undang-undang kesehatan yang mengatur tentang prosedur pelaksanaan tindakan medis.
c.   Kesalahan prediksi karena tidak menghiraukan rekam medis dari puskesmas rujukan.
d.   Tidak melihat pasien sebagai individu yang harus mendapatkan haknya secara kemanusiaan namun hanya melihat pasien sebagai objek pembelajaran.
4.      Dampak yang terjad
Kasus ini diadili di Pengadilan Negeri Manado dengan nomor register perkara No.90/Pid.B/2011/PN.MDO dengan amar putusan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Kemudian Jaksa Penuntut Umum mengajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung dengan nomor register perkara No.365K/Pid/2012 dengan amar putusan bahwa para terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang tercantum dalam Pasal 359 KUHP sehingga para terdakwa dipidana kurungan badan 10 bulan penjara. Atas dasar putusan kasasi tersebut, Para pemohon / para terpidana mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung dengan nomor register perkara No.79PK/Pid/2013 dengan amar putusan berbunyi membatalkan putusan Mahkamah Agung RI No. 365 K/PID/2012 tanggal 18 September 2012 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Manado No. 90/PID.B/2011/PN.MDO dan menyatakan bahwa para pemohon / para terpidana tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan.
5.      Legal Opinon (Komentar Penulis)
Saya tidak setuju dengan putusan hakim diatas yang membebaskan tiga dokter yang menjadi terdakwa. Alasannya, karena pada kasus ini pihak dokter tidak memberikan informasi yang jelas kepada pasien mengenai dampak tindakan yang dilakukannya dan dokter tidak melakukan persetujuan dengan pasien sebelum melakukan tindakan medis sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585 tahun 1989 (Permenkes No. 585 tahun 1989). Pengertian dari informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien / keluarganya setelah mendapat penjelasan tindakan medis.
         Dari hukum positif tersebut masyarakat bisa bertindak hati-hati dan mempunyai dua step yaitu preventif dan represif. Sayangnya tidak semua kalangan tahu akan ketentuan-ketentuan tersebut. Sehingga terkadang yang tahu akan peraturan tersebut membutakan (tidak memberi tahu) orang lain yang seharusnya tahu.
         Fakta inilah yang terjadi pada tiga dokter yaitu Dewa Ayu Sasiary Prawani, Hendry Simanjuntak, dan Hendy Siagian yang diduga melakukan malpraktek terhadap korban Siska Makatey, yaitu tidak diberikannya kesempatan kepada pasien untuk memberikan atau mendapatkan informasi yang jelas mengenai tindakan medis dan penyakit pasien, dan juga untuk melakukan persetujuan tindakan medis. Namun sayangnya dalam pembuktian yang tidak kuat, diputus bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Manado. Karena tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan malpraktek. Padahal melalui endowed with human dignity seeking the best for him self bahwa setiap insan dianugerahi hak istimewa mencari perlakuan terbaik untuk dirinya sendiri. Dalam hal ini korban Siska Makatey juga memiliki hak istimewa itu. Sayangnya faktanya tidak berjalan, sebagaimana seharusnya terdapat perbedaan antara das sein dan das solen. Siska Makatey memiliki hak untuk tercapainya freedom of will atas dirinya sendiri untuk mencapai hidup yang sehat kembali.
         Dalam teori informed consent, pasien berhak untuk membuat keputusan sehingga harus mendapatkan informasi yang cukup agar tercapai tindakan medis yang baik sesuai dengan kepentingan pasien dan dokter. Hal inilah yang sebelumnya harus didapatkan oleh Siska Makatey. Sehingga apabila terjadi sengketa diantara keduanya maka perbedaan persepsi antara logika dokter dan pasien serta kesenjangan posisi antara keduanya bisa diselesaikan oleh keduanya. Karena mereka yang lebih memahami situasi dan kondisi masing-masing.
6.      Usul Konkrit
a.      Menurut pendapat kelompok supaya kejadian tersebut tidak terjadi lagi, diharapkan supaya seorang Dokter itu harus bersikap hati-hati, bersikap sewajarnya dalam melakukan tugasnya dan harus teliti dalam melakukan observasi terhadap pasien supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti contoh kasus di atas ini. Dan seharusnya seorang petugas kesehatan itu harus mencek data pasien sebelum melakukan operasi.
b.     Semua tenaga kesehatan, baik dokter, bidan ataupun yang lainnya harus memahami betul apa-apa yang menjadi kewenangannya dan apa-apa pula yang bukan menjadi kewenangan dari profesinya. Peraturan per Undang-undangan yang telah disusun sedemikian rupa dan diadakan pembaharuan, janganlah hanya dianggap sebagai peraturan tertulis semata, namun harus di patuhi dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
c.      Selain itu kasus malpraktek ini dapat dicegah apabila pihak pasien, dokter dan rumah sakit saling menghormati hak dan kewajiban masing-masing. Realisasi perlindungan hak pasien dapat dilakukan antara lain dengan cara mewajibkan dokter memberikan informasi yang jelas dan lengkap kepada pasien, serta memberi kesempatan kepada pasien untuk memilih melalui hak persetujuan atau penolakan atas tindakan medis.
d.     Upaya pencegahan terjadinya malpraktik tersebut dapat juga dilakukan melalui pembenahan majemen rumah sakit, meningkatkan ketelitian dalam menjalankan profesi kedokteran serta memperdalam segala macam pengetahuan tentang berbagai macam tindakan pelayanan kesehatan

7.      Kesimpulan
Dugaan kasus malpraktek yang dilakukan tiga dokter, yakni dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani, Dr. Hendry Simanjuntak, dan Dr. Hendy Siagian yang dilakukan kepada Siska Makatey di putus tidak bersalah oleh Hakim PN Manado, karena tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan malpraktek. Selanjutnya jaksa mengajukan banding kasasi ke MA dan di putuskan ketiganya bersalah dengan hukuman kurungan badan selama 10 bulan. Merujuk pada putusan MA tersebut maka ketiganya mengajukan banding dengan upaya terakhir PK ke MA yang kemudian di kabulkan dengan putusan ketiganya dibebaskan dari hukuman badan yang di jalani.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Administrasi Perbekalan

TUGAS WAWASAN IPTEK "APLIKASI SIKDA GENERIK"