"POLITIK KESEHATAN"
"POLITIK KESEHATAN"
Dalam UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 bagian Pembukaan butir b (menimbang); disebutkan bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan. Hal ini menunjukkan pentingnya pembangunan kesehatan dalam bentuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat untuk mempersiapkan manusiaIndonesia yang berkualitas dan berdaya saing. Indikator peningkatan derajat kesehatan antara lain adalah meningkatnya usia harapan hidup, menurunnya angka kematian ibu, angka kematian bayi dan balita, serta angka kesakitan (morbiditas). Boleh jadi indikator ini terus menampakkan grafik membaik. Transparansi tidak hanya menyangkut masalah keuangan, namun transparansi dalam informasi atas pelayanan publik. Sebagai contoh, data mengenai jumlah penderita gizi buruk, jumlah penduduk miskin, rasio jumlah penduduk dengan jumlah sarana kesehatan dan prosedur pelayanan dasar maupun rujukan hendaknya diberikan pada publik secara transparan. Untuk mewujudkan hal tersebut, tidak bisa tidak, negara harus berperan aktif. Mengutip Release Media Indonesia tentang Politik dan kesejahteraan rakyat , Politik kesehatan adalah kebijakan negara di bidang kesehatan. Yakni kebijakan publik yang didasari oleh hak yang paling fundamental, yaitu sehat merupakan hak warga negara.
Untuk mewujudkan hak rakyat itu, jelas diperlukan keputusan politik yang juga sehat, yang diambil oleh pemerintahan yang juga sehat secara politik. Dengan kata lain, politik kesehatan ditentukan oleh sehat tidaknya politik negara. Hanya pemerintahan dan DPR yang sakit-sakitan yang senang dan membiarkan rakyatnya juga sakit-sakitan. Karena sehat merupakan hak rakyat, dan negara pun tak ingin rakyatnya sakit-sakitan, diambillah keputusan politik yang juga sehat. Yaitu, anggaran untuk kesehatan rakyat mendapatkan porsi yang besar,sangat besar, karena negara tidak ingin rakyatnya sakit-sakitan.
Bambra et al (2005) dan Fahmi Umar (2008) mengemukakan akan mengapa kesehatan itu adalah politik, karena dalam bidang kesehatan adanya disparitas derajat kesehatan masyarakat, dimana sebagian menikmati kesehatan sebagian tidak. Oleh sebab itu, untuk memenuhi equity atau keadilan harus diperjuangkan. Kesehatan adalah bagian dari Politik karena derajat kesehatan atau masalah kesehatan ditentukan oleh kebijakan yang dapat diarahkan atau mengikuti kehendak (amenable) terhadap intervensi kebijakan politik. Kesehatan bagian dari politik karena kesehatan adalah Hak Asasi Manusia.
Pada era globalisasi diperlukan sumberdaya manusia yang berkualitas yang didukung fisik dan mental yang sehat, sehingga mampu berkompetisi paling optimal. Tanpa didukung dengan kesehatan fisik dan mental yang baik, sumberdaya manusia tidak akan mampu berkompetisi dengan optimal. Secara tradisional kesehatan diukur dari aspek negatifilya seperti angka kesakitan, angka kecacatan, dan angka kematian. Melalui paradigma sehat, kesehatan sudah tidak lagi dipandang semata - mata sebagai terbebas dari penyakit, tetapi sebagai sumberdaya yang memberi kemampuan kepada individu, kelompok, organisasi, dan masyarakat untuk mengelola bahkan merubah pola hidup, kebiasaan, dan Iingkungannya.
Berbeda dengan paradigma lama yang berorientasi kepada penyakit, maka paradigma baru berorientasi kepada nilai positif kesehatan, bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup seoptimal mungkin melalui pengurangan dalam penderitaan dan kecemasan, serta peningkatan dalam harkat diri dan kemampuan untuk mandiri, sekalipun dalam menghadapi penyakit yang kronis maupun fatal (Manajemen Strategis Terpadu Bagi Masyarakat Miskin, 1999).
Saat ini dimana lingkungan sosial, ekonomi, dan politik berada pada situasi krisis, termasuk sektor kesehatan telah membuat masyarakat terutama masyarakat golongan miskin bertambah menderita karena semakin sulit menjangkau fasilitas kesehatan milik swasta maupun pemerintah. Dalam hal ini, rumah sakit sebagai organisasi sosial bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan masyarakat, rumah sakit harus dapat berfungsi sebagai rumah sehat yang melaksanakan kegiatan promotif bagi kesehatan pasien, staf rumah sakit, dan masyarakat di wilayah cakupannya serta pengembangan organisasi rumah sakit menjadi organisasi yang sehat.
Penerapan sebagai rumah sehat memerlukan pendekatan terpadu dalam pengernbangan organisasi dan tenaga kesehatan. Gerakan rumah sehat akan menghasilkan penajaman pelayanan rumah sakit dalam menunjang gerakan kesehatan bagi semua dan pemberdayaan pasien serta staf rumah sakit (Manajemen Strategis Terpadu Bagi Masyarakat 1999). Masyarakat selalu mengharapkan agar pelayanan rumah sakit, baik. milik pemerintah maupun swasta dapat memberikan pelayanan yang baik dan memuaskan bagi setiap pengguna yang memanfaatkannya, pasien menginginkan fasilitas yang baik dari rumah sakit, keramahan pihak rumah sakit, serta ketanggapan, kemampuan, dan kesungguhan para petugas rumah sakit, Dengan demikian pihak rumah sakit dituntut untuk selalu berusaha meningkatkan layanan kepada pasien.
Haryono Wiratno (1998), mengatakan bahwa kualitas pelayanan (Service Quality) adalah pandangan konsumen terhadap hasil perbandingan antara ekspektasi konsumen dengan kenyataan yang diperoleh dari pelayanan. Sedangkan kepuasan adalah persepsi pelanggan terhadap satu pengalaman layanan yang diterima. Program kesehatan di masyarakat mendapat perhatian tetapi, yang dapat kita pelajari dari makalah ini adalah bahwa banyak kebijakan “bagus” tetapi seperti berada di keranjang sampah. Mereka dibuang begitu saja. Ada contoh peristiwa politik memanfaatkan kebijakan tetapi berbeda dari masalah dan policy option yang sewajarnya lebih baik.
Muatan politik begitu kuat sehingga kebijakan itu menyeleweng dari relevansi masalah yang dianggap oleh masyarakat dan birokrat. Ada contoh peristiwa politik berhimpitan dengan masalah dan policy option yang relevan dengan stakeholder lain. Politik memiliki pengaruh begitu besar terhadap kebijakan dan pengembangan di bidang kesehatan.
Pelarangan iklan rokok menyeluruh (total ban) mencakup iklan, promosi dan sponsorship yang meliputi pelarangan (1) iklan, baik langsung maupun tidak langsung di semua media massa; (2) promosi dalam berbagai bentuk, misalnya potongan harga, hadiah, peningkatan citra perusahaan dengan menggunakan nama merek atau perusahaan dan (3) sponsorship dalam bentuk pemberian beasiswa, pemberian bantuan untuk bidang pendidikan, kebudayaan, olah raga, lingkungan hidup, dll.
Namun disisi lain, berbagai strategi yang telah dilakukan tersebut tetap tidak menghentikan lajunya perkembangan penyakit yang terus memeras keringat para ahli kesehatan untuk mengendalikannya. Masih Terus terdengar banyaknya masyarakat miskin yang tak mampu mengakses layanan kesehatan karena tak ada biaya. Masih banyaknya Balita yang mengalami Gizi buruk. Buruknya mutu pelayanan kesehatan yang diterima masyarakat di Puskesmas dan Rumah sakit pemerintah, serta sejumlah permasalahan pada sektor kesehatan yang menunggu implementasi Visi, misi, dan program para calon pemimpin yang tampak menjanjikan, namun sungguh sulit untuk direalisasi, akankah kenyataannya seindah janji.
Anggaran itu sudah pasti merupakan produk politik, karena ditetapkan pemerintah bersama DPR. Membebani impor alat-alat kedokteran dengan pajak yang sama untuk impor mobil mewah, juga keputusan politik. Membiarkan dokter menumpuk dan berebut cuma di kota besar, atau mengatur penyebarannya berdasarkan kepentingan Daerah, contoh lain buah keputusan politik, singkatnya, politik kesehatan atau kebijakan kesehatan memang akhirnya ditentukan oleh keputusan politik. Kalau kehidupan politik di suatu Daerah tidak sehat, jangan harap kesehatan masyarakat di daerah itu akan diurus dengan sehat pula. Politik yang sakit akan membiarkan rakyatnya sakit. Contoh paling nyata yang terjadi dalam penetapan anggaran untuk kesehatan, menteri kesehatan mengajukan rancangan anggaran kepada presiden yang kemudian akan dibahas bersama DPR karena dalam penetapan Anggaran Belanja Negara DPR mempunyai wewenang dalam menyetujui maupun menolak terhadap rancangan yang d iajukan tersebut.
Dengan jumlah 35 juta lebih orang miskin di Indonesia, maka sudah saatnya Negara mengambil prakarsa untuk melindungi mereka agar berbagai lembaga kesehatan serta hal lain yang terkait seperti rumah sakit, poliklinik, puskesmas, harga obat, serta dokter tidak justru menjadi mesin yang menggilas mereka yang miskin dan menjadikan siklus kemismikan kian tak berujung. Itulah kira bentuk politik kesehatan yang harus dijalankan Negara. Seperti dikatakan Jeffrey Sachs dalam buku The End of Poverty (2005) bahwa banyak hal yang menyebabkan seseorang akan semakin terperangkap dalam “jebakan kemiskinan”. Salah satunya adalah tiadanya human capital di mana salah satu variabelnya adalah dalam wujud akses kesehatan yang memadai dan terjangkau. Mengapa komitmen Negara dalam bentuk politik kesehatan menjadi penting? Perlu dicatat bahwa kondisi orang miskin di negeri ini sudah berada dalam kondisi seperti yang digambarkan James C. Scott (1983): seperti orang yang terendam dalam air sampai ke leher, sehingga ombak yang kecil sekalipun akan menenggelamkannya. Ombak kecil dalam konteks ini saya kira bisa berupa mahalnya biaya rumah sakit dan juga obat-obatan.
Pada titik inilah penting mengkorelasikan hubungan antara sektor kesehatan dan kebijakan politik sebagai bentuk konkrit dari kebijakan kesehatan. Banyak bukti yang menunjukkan bagaimamana kemiskinan ternyata ikut memperkeruh persoalan kesehatan. Data Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Indeks/HDI) yang memasukkan tiga parameter penting dalam menghitung tingkat kesejahteraan, yaitu pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. menunjukkan bahwa peringkat kesejahteraan Indonesia pada tahun 2010 berada di urutan 124 dari 185 negara. Dibanding Negara-negara ASEAN.
IKM ini mengukur kualitas SDM melalui beberapa indikator yang berupa presentase penduduk di bawah garis kemiskinan, angka buta huruf, proporsi penduduk yang kemungkinan meninggal sebelum 40 tahun, proporsi penduduk tidak mempunyai akses terhadap air bersih, serta persentase balita dengan gizi buruk. Mencermati data tersebut tampaknya sudah saatnya kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah juga mempertimbangkan implikasi-implikasinya terhadap sektor kesehatan. Pemukiman yang sehat, nutrisi yang lebih baik, serta keringanan biaya kesehatan adalah salah satu bentuk implementasinya. Karena itu, rumah sakit, baik negeri maupun swasta, harus didorong untuk melaksanakan proyek penanganan kesehatan khusus di daerah-daerah miskin. Karena itu program Depkes yang bersinggungan langsung dengan masyarakat kecil seperti program Desa Siaga yang mensyarakatkan adanya Poskesdes (Pos Kesehatan Desa) di dalamnya, Program Poskestren (Pos Kesehatan Pesantren), Musholla Sehat, dan juga Posyandu perlu didorong dan dikawal keberlangsungannya sebagai bentuk komitmen pada dunia kesehatan.
Satu hal yang kira penting diketahui bahwa untuk masyarakat yang tinggal dipedesaan yang terpencil atau pedalaman akses pada layanan kesehatan adalah barang langka. Karena itu keberpihakan pemerintah dalam bentuk politik kesehatan untuk mendahulukan serta melindungi mereka yang kurang mampu kiranya adalah salah satu wujud affirmative action dibidang kesehatan. Sekali lagi, adalah naïf bila perkara kesehatan lagi-lagi diserahkan pada mekanisme pasar bebas. Maka peran paling minimal yang bisa dilakukan Negara adalah lewat kebijakan publik, yang oleh Evans (1998) disebut sebagai custodian role. Yakni sebuah peran Negara untuk melindungi, mengawasi serta mencegah prilaku segelintir kelompok yang dapat merugikan masyarakat banyak. Dalam konteks kesehatan, maka pemerintah wajib melakukan kontrol atas pelayanan kesehatan yang merugikan masyarakt miskin. Status miskin sama sekali tidak bisa menghapus tugas Negara untuk menjamin perlindungan atas mereka, apalagi jaminan untuk hidup dalam lingkungan yang sehat. Masyarakat miskin akan terus-menerus menjadi korban bila kesehatan hanya diukur berdasarkan kemampuan seseorang dalam mengeluarkan biaya. Karenanya keberpihakan Negara yang tegas dan jelas harus dibangun agar keseimbangan hidup rakyat yang selama ini tersisih dan terkoyak bisa pulih kembali.
Penjelasan diatas secara jelas menunjukkan hubungan yang sanga terat antara poltik kesehatan dan kemiskinan. Tentu para pemimpin politis baik di tingkat Pusat maupun daerah memahami betul konteks peran negara (pemerintah) dalam mencover jaminan kesehatan bagi penduduk miskin sebagai bentuk tanggung jawab politik, terutama berdasarkan pada isu-isu yang diungkapkan saat kampanye. Bila ini tidak diperhatikan dan dibenahi, pemerintah akan berutang kepada masyarakat. Politik kesehatan yang dilaksanakan secara sehat, sistematis, dan sesuai dengan prinsip good governance tentunya akan selalu menjadi harapan bagi masyarakat yang telah memilihnya sebagai pemimpin.
BAB
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Kesehatan adalah bagian dari
politik oleh karena pelayanan kesehatan merupakan pelayanan publik yang
seyogianya tidak hanya dijadikan sebagai kendaraan politik para calon atau
kandidat kepala daerah. (Bambra et all, 2005). Sebuah studi yang dilakukan Navarro
et all pada tahun 2006 meneguhkan korelasi antara ideologi politik suatu pemerintahan terhadap derajat kesehatan masyarakatnya,
melalui kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintahan tersebut. Konsep
kesehatan yang dianut pemerintah kita saat ini, berbuah pembangunan kesehatan yang berbentuk pelayanan
kesehatan individu, ketimbang layanan kesehatan komunitas yang lebih
luas, program-program karitas yang bersifat reaktif seperti Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas) atau pengobatan gratis dan Jampersal. Dalam UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 bagian Pembukaan butir b (menimbang); disebutkan bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan. Hal ini menunjukkan pentingnya pembangunan kesehatan dalam bentuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat untuk mempersiapkan manusiaIndonesia yang berkualitas dan berdaya saing. Indikator peningkatan derajat kesehatan antara lain adalah meningkatnya usia harapan hidup, menurunnya angka kematian ibu, angka kematian bayi dan balita, serta angka kesakitan (morbiditas). Boleh jadi indikator ini terus menampakkan grafik membaik. Transparansi tidak hanya menyangkut masalah keuangan, namun transparansi dalam informasi atas pelayanan publik. Sebagai contoh, data mengenai jumlah penderita gizi buruk, jumlah penduduk miskin, rasio jumlah penduduk dengan jumlah sarana kesehatan dan prosedur pelayanan dasar maupun rujukan hendaknya diberikan pada publik secara transparan. Untuk mewujudkan hal tersebut, tidak bisa tidak, negara harus berperan aktif. Mengutip Release Media Indonesia tentang Politik dan kesejahteraan rakyat , Politik kesehatan adalah kebijakan negara di bidang kesehatan. Yakni kebijakan publik yang didasari oleh hak yang paling fundamental, yaitu sehat merupakan hak warga negara.
Untuk mewujudkan hak rakyat itu, jelas diperlukan keputusan politik yang juga sehat, yang diambil oleh pemerintahan yang juga sehat secara politik. Dengan kata lain, politik kesehatan ditentukan oleh sehat tidaknya politik negara. Hanya pemerintahan dan DPR yang sakit-sakitan yang senang dan membiarkan rakyatnya juga sakit-sakitan. Karena sehat merupakan hak rakyat, dan negara pun tak ingin rakyatnya sakit-sakitan, diambillah keputusan politik yang juga sehat. Yaitu, anggaran untuk kesehatan rakyat mendapatkan porsi yang besar,sangat besar, karena negara tidak ingin rakyatnya sakit-sakitan.
1.2 PERMASALAHAN
Dari
penjelasan latar belakang diatas,
maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan pada makalah
ini adalah:
1.
Pengertian Politik Dan Politik Kesehatan ?
2.
Pengaruh Politik Terhadap Kesehatan?
3.
Strategi Dan Esensi Politik Kesehatan?
4.
Politik Kesehatan Dan Kemiskinan ?
1.3 TUJUAN
PENULISAN
Tujuan
penulisan makalah ini adalah :
1.
Mengetahui Pengertian Politik Dan Pengertian Politik Kesehatan
2.
Mengetahui Pengaruh Politik Terhadap Kesehatan
3.
Mengetahui Strategi Dan Esensi Politik Kesehatan
4.
Mengetahui Politik Kesehatan Dan Kemiskinan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN
POLITIK DAN POLITIK KESEHATAN
1.
Pengertian Politik
Perkataan politik berasal dari
bahasa Yunani yaitu Polistaia, Polis berarti kesatuan masyarakat yang mengurus diri sendiri/berdiri sendiri (negara),
sedangkan taia berarti urusan. Dari segi kepentingan penggunaan, kata politik mempunyai
arti yang berbeda-beda. Untuk lebih memberikan pengertian arti politik disampaikan
beberapa arti politik dari segi kepentingan penggunaan, yaitu :
a.
Dalam arti kepentingan umum (politics)
Politik dalam arti
kepentingan umum atau segala usaha untuk kepentingan umum, baik yang berada
dibawah kekuasaan negara di Pusat maupun di Daerah, lazim disebut Politik
(Politics) yang artinya adalah suatu
rangkaian azas/prinsip, keadaan serta jalan, cara dan alat yang akan digunakan untuk mencapai tujuan tertentu atau suatu keadaan yang kita kehendaki disertai dengan
jalan, cara dan alat yang akan kita gunakan untuk mencapai keadaan yang kita
inginkan.
b.
Dalam arti kebijaksanaan (Policy)
Politik adalah
penggunaan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang yang dianggap lebih menjamin
terlaksananya suatu usaha, cita-cita/keinginan atau keadaan yang kita
kehendaki.
c.
Jadi politik menurut kami adalah suatu ilmu dan seni mengelola peran.
2.
Pengertian Politik Kesehatan
Politik Kesehatan adalah Ilmu dan
seni untuk memperjuangkan derajat kesehatan masyarakat dalam satu wilayah
melalui sebuah sistem ketatanegaraan yang dianut dalam sebuah wilayah atau
negara. Untuk meraih tujuan tersebut diperlukan kekuasaan. Kekuasaan tersebut
kelak digunakan untuk mendapat kewenangan yang diperlukan untuk mencapai cita-cita
dan tujuan. Oleh karena itu derajat kesehatan masyarakat yang diidamkan adalah merupakan sebuah tujuan yang di inginkan seluruh rakyat banyak, maka derajat kesehatan
hendaknya diperjuangkan melalui sistem dan mekanisme politik. Bambra et al (2005) dan Fahmi Umar (2008) mengemukakan akan mengapa kesehatan itu adalah politik, karena dalam bidang kesehatan adanya disparitas derajat kesehatan masyarakat, dimana sebagian menikmati kesehatan sebagian tidak. Oleh sebab itu, untuk memenuhi equity atau keadilan harus diperjuangkan. Kesehatan adalah bagian dari Politik karena derajat kesehatan atau masalah kesehatan ditentukan oleh kebijakan yang dapat diarahkan atau mengikuti kehendak (amenable) terhadap intervensi kebijakan politik. Kesehatan bagian dari politik karena kesehatan adalah Hak Asasi Manusia.
2.2 PENGARUH
POLITIK TERHADAP KESEHATAN
Penentuan kebijakan di bidang
kesehatan memang merupakan sebuah sistem yang tidak lepas dari keadaan disekitarnya
yaitu politik. Oleh karena itu, kebijakan yang dihasilkan merupakan produk dari
serangkaian interaksi elit kunci dalam setiap proses pembuatan kebijakan termasuk tarik-menarik kepentingan antara aktor, interaksi kekuasaan, alokasi sumber daya dan bargaining position di
antara elit yang terlibat. Proses pembentukan kebijakan tidak dapat menghindar
dari upaya individual atau kelompok tertentu yang berusaha mempengaruhi para pengambil keputusan agar suatu kebijakan dapat lebih menguntungkan
pihaknya. Semua itu, merupakan manifestasi dari kekuatan politik (power) untuk
mempertahankan stabilitas dan kepentingan masing-masing aktor. Bahkan tak
jarang terjadi pula intervensi kekuasaan dan tarik-menarik kepentingan politis
dari pemegang kekuasaan atau aktor yang memiliki pengaruh dalam posisi politik.
Pada era globalisasi diperlukan sumberdaya manusia yang berkualitas yang didukung fisik dan mental yang sehat, sehingga mampu berkompetisi paling optimal. Tanpa didukung dengan kesehatan fisik dan mental yang baik, sumberdaya manusia tidak akan mampu berkompetisi dengan optimal. Secara tradisional kesehatan diukur dari aspek negatifilya seperti angka kesakitan, angka kecacatan, dan angka kematian. Melalui paradigma sehat, kesehatan sudah tidak lagi dipandang semata - mata sebagai terbebas dari penyakit, tetapi sebagai sumberdaya yang memberi kemampuan kepada individu, kelompok, organisasi, dan masyarakat untuk mengelola bahkan merubah pola hidup, kebiasaan, dan Iingkungannya.
Berbeda dengan paradigma lama yang berorientasi kepada penyakit, maka paradigma baru berorientasi kepada nilai positif kesehatan, bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup seoptimal mungkin melalui pengurangan dalam penderitaan dan kecemasan, serta peningkatan dalam harkat diri dan kemampuan untuk mandiri, sekalipun dalam menghadapi penyakit yang kronis maupun fatal (Manajemen Strategis Terpadu Bagi Masyarakat Miskin, 1999).
Saat ini dimana lingkungan sosial, ekonomi, dan politik berada pada situasi krisis, termasuk sektor kesehatan telah membuat masyarakat terutama masyarakat golongan miskin bertambah menderita karena semakin sulit menjangkau fasilitas kesehatan milik swasta maupun pemerintah. Dalam hal ini, rumah sakit sebagai organisasi sosial bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan masyarakat, rumah sakit harus dapat berfungsi sebagai rumah sehat yang melaksanakan kegiatan promotif bagi kesehatan pasien, staf rumah sakit, dan masyarakat di wilayah cakupannya serta pengembangan organisasi rumah sakit menjadi organisasi yang sehat.
Penerapan sebagai rumah sehat memerlukan pendekatan terpadu dalam pengernbangan organisasi dan tenaga kesehatan. Gerakan rumah sehat akan menghasilkan penajaman pelayanan rumah sakit dalam menunjang gerakan kesehatan bagi semua dan pemberdayaan pasien serta staf rumah sakit (Manajemen Strategis Terpadu Bagi Masyarakat 1999). Masyarakat selalu mengharapkan agar pelayanan rumah sakit, baik. milik pemerintah maupun swasta dapat memberikan pelayanan yang baik dan memuaskan bagi setiap pengguna yang memanfaatkannya, pasien menginginkan fasilitas yang baik dari rumah sakit, keramahan pihak rumah sakit, serta ketanggapan, kemampuan, dan kesungguhan para petugas rumah sakit, Dengan demikian pihak rumah sakit dituntut untuk selalu berusaha meningkatkan layanan kepada pasien.
Haryono Wiratno (1998), mengatakan bahwa kualitas pelayanan (Service Quality) adalah pandangan konsumen terhadap hasil perbandingan antara ekspektasi konsumen dengan kenyataan yang diperoleh dari pelayanan. Sedangkan kepuasan adalah persepsi pelanggan terhadap satu pengalaman layanan yang diterima. Program kesehatan di masyarakat mendapat perhatian tetapi, yang dapat kita pelajari dari makalah ini adalah bahwa banyak kebijakan “bagus” tetapi seperti berada di keranjang sampah. Mereka dibuang begitu saja. Ada contoh peristiwa politik memanfaatkan kebijakan tetapi berbeda dari masalah dan policy option yang sewajarnya lebih baik.
Muatan politik begitu kuat sehingga kebijakan itu menyeleweng dari relevansi masalah yang dianggap oleh masyarakat dan birokrat. Ada contoh peristiwa politik berhimpitan dengan masalah dan policy option yang relevan dengan stakeholder lain. Politik memiliki pengaruh begitu besar terhadap kebijakan dan pengembangan di bidang kesehatan.
Contoh pengaruh
politik terhadap kesehatan
1. Anggaran kesehatan
Karena sehat merupakan hak rakyat
dan negara pun tak ingin rakyatnya sakit-sakitan, diambillah keputusan politik
yang juga sehat. Yaitu, anggaran untuk kesehatan rakyat mendapatkan porsi yang
sangat besar, karena negara tidak ingin rakyatnya sakit-sakitan. Pemerintah
bersama DPR. Membebani impor alat-alat kedokteran dengan pajak yang sama untuk
impor mobil mewah, juga keputusan politik.
2. UU Tembakau; Cukei rokok terus dinaikkan
karena konsumsi rokok di Indonesia semakin meningkat.
Biaya ekonomi dan sosial yang
ditimbulkan akibat konsumsi tembakau terus meningkat dan beban peningkatan ini
sebagian besar ditanggung oleh masyarakat miskin. Angka kerugian akibat rokok
setiap tahun mencapai 200 juta dolar Amerika, sedangkan angka kematian akibat
penyakit yang diakibatkan merokok terus meningkat. Di Indonesia, jumlah biaya
konsumsi tembakau tahun 2005 yang meliputi biaya langsung di tingkat rumah
tangga dan biaya tidak langsung karena hilangnya produktifitas akibat kematian
dini, sakit dan kecacatan adalah US $ 18,5 Milyar atau Rp 167,1 Triliun. Jumlah tersebut adalah sekitar 5 kali lipat
lebih tinggi dari pemasukan cukai sebesar Rp 32,6 Triliun atau US$ 3,62 Milyar
tahun 2005 (1US$ = Rp 8.500,-).
3. Program Pembatasan Waktu Iklan Rokok
Larangan iklan secara menyeluruh
merupakan upaya untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat khususnya
anak-anak dan remaja. Anak-anak dan
remaja merupakan sasaran utama produsen rokok. Diakui oleh industri rokok bahwa
anak-anak dan remaja merupakan aset bagi keberlangsungan industri rokok. Untuk
itu kebijakan larangan iklan rokok secara menyeluruh harus diterapkan untuk
melindungi anak dan remaja dari pencitraan produk tembakau yang menyesatkan.Pelarangan iklan rokok menyeluruh (total ban) mencakup iklan, promosi dan sponsorship yang meliputi pelarangan (1) iklan, baik langsung maupun tidak langsung di semua media massa; (2) promosi dalam berbagai bentuk, misalnya potongan harga, hadiah, peningkatan citra perusahaan dengan menggunakan nama merek atau perusahaan dan (3) sponsorship dalam bentuk pemberian beasiswa, pemberian bantuan untuk bidang pendidikan, kebudayaan, olah raga, lingkungan hidup, dll.
4. Program Kesehatan Gratis di Gorontalo
Berdasarkan kemampuan sumber daya
dan permasalahan bidang kesehatan, maka dapat diproyeksikan pencapaian program
sebagai berikut:
1. Program Promosi Kesehatan dan pemberdayaan
Masyarakat; meningkatnya persentase rumah
tangga berperilaku hidup bersih dan sehat menjadi 60%
2. Program
Lingkungan Sehat; meningkatnya persentase keluarga menghuni rumah yang memenuhi
syarat kesehatan menjadi 75 %, persentase keluarga menggunakan air bersih menjadi 85 %, persentase keluarga
menggunakan jamban memenuhi syarat kesehatan menjadi 80%, dan persentase
tempat-tempat umum yang memenuhi syarat kesehatan menjadi 80 %
3. Program Upaya Kesehatan Masyarakat ; Cakupan
rawat jalan sebesar 15%, Meningkatnya cakupan persalinan nakes menjadi 90%,
Pelayanan antenatal (K4) 90%, kunjungan neonatus (KN2) 90%, dan cakupan
kunjungan bayi menjadi 90 %, pelayana kesehatan dasar bagi gakin di Puskesmas
sebesar 100 %, Persentase posyandu Purnama
Mandiri 40 %, Tersedia dan beroperasinya Pos kesehatan desa di tiap
desa.
4. Program Upaya Kesehatan Perorangan; Cakupan
rawat inap sebesar 1.5 %, Rumah sakit yang melaksanakan pelayaan gawat darurat
sebesar 90 %, jumlah rumah sakit PONEK sebesar 75 % dan rumah sakit yang
terakreditasi sebanyak 75 %, terselenggaranya pelayanan kewsehatan bagi Gakin
di kelas III rumah saki sebesar 100 %.
2.3 STRATEGI DAN
ESENSI POLITIK KESEHATAN
Gonjang-ganjing di panggung
politik akhir – akhir ini, baik Pilgub ataupun Pilbup tak henti-hentinya menghiasi media massa baik Cetak maupun Elektronik. Seolah menjadi sumber
berita yang memberikan “ energi lebih” kepada media untuk menjadikannya
headline setiap hari. Namun disisi lain, berbagai strategi yang telah dilakukan tersebut tetap tidak menghentikan lajunya perkembangan penyakit yang terus memeras keringat para ahli kesehatan untuk mengendalikannya. Masih Terus terdengar banyaknya masyarakat miskin yang tak mampu mengakses layanan kesehatan karena tak ada biaya. Masih banyaknya Balita yang mengalami Gizi buruk. Buruknya mutu pelayanan kesehatan yang diterima masyarakat di Puskesmas dan Rumah sakit pemerintah, serta sejumlah permasalahan pada sektor kesehatan yang menunggu implementasi Visi, misi, dan program para calon pemimpin yang tampak menjanjikan, namun sungguh sulit untuk direalisasi, akankah kenyataannya seindah janji.
Anggaran itu sudah pasti merupakan produk politik, karena ditetapkan pemerintah bersama DPR. Membebani impor alat-alat kedokteran dengan pajak yang sama untuk impor mobil mewah, juga keputusan politik. Membiarkan dokter menumpuk dan berebut cuma di kota besar, atau mengatur penyebarannya berdasarkan kepentingan Daerah, contoh lain buah keputusan politik, singkatnya, politik kesehatan atau kebijakan kesehatan memang akhirnya ditentukan oleh keputusan politik. Kalau kehidupan politik di suatu Daerah tidak sehat, jangan harap kesehatan masyarakat di daerah itu akan diurus dengan sehat pula. Politik yang sakit akan membiarkan rakyatnya sakit. Contoh paling nyata yang terjadi dalam penetapan anggaran untuk kesehatan, menteri kesehatan mengajukan rancangan anggaran kepada presiden yang kemudian akan dibahas bersama DPR karena dalam penetapan Anggaran Belanja Negara DPR mempunyai wewenang dalam menyetujui maupun menolak terhadap rancangan yang d iajukan tersebut.
2.4 POLITIK
KESEHATAN DAN KEMISKINAN
Kemiskinan merupakan salah satu dimensi
yang sangat menjadi perhatian dalam konteks politik kesehatan.
UUD kita menegaskan bahwa masyarakat miskin ditanggung oleh negara termasuk
dalam hal jamianan pelayanan kesehatannya. Berkaitan dengan hal itu menarik
untuk menelaah tulisan A. Maulani (peneliti Pusat studi Asia pasifik , UGM)
yang dimuat di situs Antaranews.com. Dia mengutip pernyataan mantan Menkes Siti Fadillah Supari “Tuntut rumah sakit yang
tidak mau menerima pasien yang memiliki kartu Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat). Kalau masyarakat miskinnya yang tidak punya Jamkesmas,
tuntut Pemdanya”, dalam sebuah rapat kerja dengan
DPRRI (9/02/09). Pernyataan keras tersebut dengan jelas memperlihatkan bahwa
banyak lembaga kesehatan yang hanya berorientasi ekonomi semata, yang kurang berpihak
masyarakat miskin. Mereka selalu saja menjadi korban
bahkan bulan-bulanan oleh sebuah sistem. Kesehatan dalam konteks ini hanya
dipandang sebagai perkara medis belaka. Fungsi sosial yang seharusnya juga
diemban RS ternyata terkikis oleh hasrat penumpukan laba semata. Dengan jumlah 35 juta lebih orang miskin di Indonesia, maka sudah saatnya Negara mengambil prakarsa untuk melindungi mereka agar berbagai lembaga kesehatan serta hal lain yang terkait seperti rumah sakit, poliklinik, puskesmas, harga obat, serta dokter tidak justru menjadi mesin yang menggilas mereka yang miskin dan menjadikan siklus kemismikan kian tak berujung. Itulah kira bentuk politik kesehatan yang harus dijalankan Negara. Seperti dikatakan Jeffrey Sachs dalam buku The End of Poverty (2005) bahwa banyak hal yang menyebabkan seseorang akan semakin terperangkap dalam “jebakan kemiskinan”. Salah satunya adalah tiadanya human capital di mana salah satu variabelnya adalah dalam wujud akses kesehatan yang memadai dan terjangkau. Mengapa komitmen Negara dalam bentuk politik kesehatan menjadi penting? Perlu dicatat bahwa kondisi orang miskin di negeri ini sudah berada dalam kondisi seperti yang digambarkan James C. Scott (1983): seperti orang yang terendam dalam air sampai ke leher, sehingga ombak yang kecil sekalipun akan menenggelamkannya. Ombak kecil dalam konteks ini saya kira bisa berupa mahalnya biaya rumah sakit dan juga obat-obatan.
Pada titik inilah penting mengkorelasikan hubungan antara sektor kesehatan dan kebijakan politik sebagai bentuk konkrit dari kebijakan kesehatan. Banyak bukti yang menunjukkan bagaimamana kemiskinan ternyata ikut memperkeruh persoalan kesehatan. Data Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Indeks/HDI) yang memasukkan tiga parameter penting dalam menghitung tingkat kesejahteraan, yaitu pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. menunjukkan bahwa peringkat kesejahteraan Indonesia pada tahun 2010 berada di urutan 124 dari 185 negara. Dibanding Negara-negara ASEAN.
IKM ini mengukur kualitas SDM melalui beberapa indikator yang berupa presentase penduduk di bawah garis kemiskinan, angka buta huruf, proporsi penduduk yang kemungkinan meninggal sebelum 40 tahun, proporsi penduduk tidak mempunyai akses terhadap air bersih, serta persentase balita dengan gizi buruk. Mencermati data tersebut tampaknya sudah saatnya kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah juga mempertimbangkan implikasi-implikasinya terhadap sektor kesehatan. Pemukiman yang sehat, nutrisi yang lebih baik, serta keringanan biaya kesehatan adalah salah satu bentuk implementasinya. Karena itu, rumah sakit, baik negeri maupun swasta, harus didorong untuk melaksanakan proyek penanganan kesehatan khusus di daerah-daerah miskin. Karena itu program Depkes yang bersinggungan langsung dengan masyarakat kecil seperti program Desa Siaga yang mensyarakatkan adanya Poskesdes (Pos Kesehatan Desa) di dalamnya, Program Poskestren (Pos Kesehatan Pesantren), Musholla Sehat, dan juga Posyandu perlu didorong dan dikawal keberlangsungannya sebagai bentuk komitmen pada dunia kesehatan.
Satu hal yang kira penting diketahui bahwa untuk masyarakat yang tinggal dipedesaan yang terpencil atau pedalaman akses pada layanan kesehatan adalah barang langka. Karena itu keberpihakan pemerintah dalam bentuk politik kesehatan untuk mendahulukan serta melindungi mereka yang kurang mampu kiranya adalah salah satu wujud affirmative action dibidang kesehatan. Sekali lagi, adalah naïf bila perkara kesehatan lagi-lagi diserahkan pada mekanisme pasar bebas. Maka peran paling minimal yang bisa dilakukan Negara adalah lewat kebijakan publik, yang oleh Evans (1998) disebut sebagai custodian role. Yakni sebuah peran Negara untuk melindungi, mengawasi serta mencegah prilaku segelintir kelompok yang dapat merugikan masyarakat banyak. Dalam konteks kesehatan, maka pemerintah wajib melakukan kontrol atas pelayanan kesehatan yang merugikan masyarakt miskin. Status miskin sama sekali tidak bisa menghapus tugas Negara untuk menjamin perlindungan atas mereka, apalagi jaminan untuk hidup dalam lingkungan yang sehat. Masyarakat miskin akan terus-menerus menjadi korban bila kesehatan hanya diukur berdasarkan kemampuan seseorang dalam mengeluarkan biaya. Karenanya keberpihakan Negara yang tegas dan jelas harus dibangun agar keseimbangan hidup rakyat yang selama ini tersisih dan terkoyak bisa pulih kembali.
Penjelasan diatas secara jelas menunjukkan hubungan yang sanga terat antara poltik kesehatan dan kemiskinan. Tentu para pemimpin politis baik di tingkat Pusat maupun daerah memahami betul konteks peran negara (pemerintah) dalam mencover jaminan kesehatan bagi penduduk miskin sebagai bentuk tanggung jawab politik, terutama berdasarkan pada isu-isu yang diungkapkan saat kampanye. Bila ini tidak diperhatikan dan dibenahi, pemerintah akan berutang kepada masyarakat. Politik kesehatan yang dilaksanakan secara sehat, sistematis, dan sesuai dengan prinsip good governance tentunya akan selalu menjadi harapan bagi masyarakat yang telah memilihnya sebagai pemimpin.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
1. Politik dalam arti kepentingan umum adalah
suatu rangkaian azas/prinsip, keadaan serta jalan, cara dan alat yang akan
digunakan untuk mencapai tujuan tertentu atau suatu keadaan yang kita kehendaki
disertai dengan jalan, cara dan alat yang akan kita gunakan untuk mencapai
tujuan yang kita inginkan.
2. Politik memiliki pengaruh begitu besar terhadap kebijakan dan pengembangan di bidang kesehatan
3. Politik Kesehatan adalah Ilmu dan seni untuk
memperjuangkan derajatkesehatan masyarakat
dalam satu wilayah melalui sebuah sistemketatanegaraan yang dianut dalam sebuah
wilayah atau Negara
4. Politik kesehatan atau kebijakan kesehatan
memang akhirnya ditentukanoleh keputusan politik. Kalau kehidupan politik di
suatu Daerah tidaksehat, jangan harap kesehatan masyarakat di daerah itu akan diurusdengan sehat pula. Politik yang sakit
akan membiarkan rakyatnya sakit.
5.
Kemiskinan ternyata ikut memperkeruh persoalan kesehatan.
3.2 SARAN
Jika ada kesalahan dan kekeliruan
pada makalah ini maka kami mohon kritik
maupun saran yang sifatnya membangun dari pembaca demi kesempurnaan kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
file:///D:/politik_kesehatan/10567-strategi-dan-esensi-politik-kesehatan-.html
file:///D:/politik_kesehatan/Kesehatan%20Politik%20dan%20Politik%20Kesehatan%20%C2
%AB%20Gagasan%20Hukum.htm
http://id.shvoong.com/law-and-politics/politics/1935230-pengertian-politik/#ixzz1ohcTATsu
http://www.scribd.com/doc/39385574/Pengaruh-Politik-Thd-Penetapan-Kebijakan-Kesehatan
Komentar
Posting Komentar